Home » Ekonomi » Ekonomi Makro » Bhima Yudhistira Beberkan Akar Masalah Kenaikan Harga Minyak Goreng

Bhima Yudhistira Beberkan Akar Masalah Kenaikan Harga Minyak Goreng

Senin,23 Mei 2022 12:10WIB

Bagikan :

Jakarta, sintesanews.id – Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Ecomonic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menanggapi kebijakan pemerintah yang mencabut larangan ekspor bahan baku minyak goreng atau Crude Palm Oil (CPO).

Kebijakan tersebut mulai berlaku hari ini, Senin (23/5/2022). Kata Bhima, harga minyak goreng tak langsung turun setelah kebijakan tersebut diberlakukan oleh pemerintah.

Hal itu dibuktikan dengan harga rata-rata minyak goreng curah di pasar tradisional yang mencapai Rp 18.700 per liter. Sedangkan minyak goreng kemasan masih dibanderol dengan harga Rp 26 ribu per liter.

“Kalau pejabat menanyakan satu pedagang, pasti akan menjawab harganya sesuai HET. Tetapi setelah pejabatnya pergi, harganya beda lagi,” kata Bhima sebagaimana dikutip sintesanews.id dari kanal YouTube Metro TV, Senin malam.

Kata dia, problem peningkatan harga minyak goreng bukan berasal dari pasokan, namun berasal dari distribusi.

Selama distribusi minyak goreng masih menggunakan mekanisme curah, prosesnya akan tetap panjang. Bahkan rantai distribusinya mencapai tujuh hingga delapan kali untuk sampai ke konsumen akhir. Kata Bhima, setiap rantai distribusi pasti terdapat margin keuntungan, sehingga akan mempengaruhi harga minyak goreng.

Dari hilir hingga hulu, sektor ini didominasi oleh pemain swasta. Karena itu, untuk mendongkrak agar prosesnya efektif, Bhima menyarankan pemerintah melalui BUMN dan Bulog terlibat di dalamnya.

“Sehingga mereka bisa melakukan pemantauan dan pengawasan secara efektif kalau itu tujuannya menurunkan harga,” sarannya.

Kebijakan pelarangan ekspor minyak goreng dan CPO bertujuan sebagai shock therapy terhadap para pemain di sektor tersebut. Namun, Bhima menilai bahwa pemerintah tidak tepat dalam mengarahkan usaha shock therapy itu.

Apabila shock therapy dimaksudkan untuk para konglomerat perusahaan kelapa sawit yang menguasai 40% dari total luas lahan sawit di Indonesia, justru sebaliknya perusahaan sawit menekan rantai yang paling bawah, yaitu para petani.

“Akhirnya, shock therapy-nya menjadi tidak efektif karena siapa yang mau ditekan dan siapa yang mau diancam oleh kebijakan pemerintah. Tetapi justru banyak blunder-nya. Banyak kontradiksinya. Termasuk devisa yang hilang, pendapatan negara yang hilang, karena proteksi atau pelarangan ekspor sawit secara total sekali lagi tidak diperlukan,” jelasnya.

“Kan hanya 10% CPO untuk penggunaan bahan baku minyak goreng. Dan kalau di dalam negeri, masalah pasokannya itu adalah perebutan antara kebutuhan pangan minyak goreng versus kebutuhan biodiesel. Apalagi kebutuhan biodieselnya 10 juta kiloliter. Terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun,” lanjutnya.

Bila ingin mengatur pasokan, Bhima menyarankan agar pemerintah menurunkan target biodiesel, misalnya dari 10 juta kiloliter menjadi 7-8 juta kiloliter, sehingga ada 2 juta kiloliter yang bisa dialihkan untuk minyak goreng.

Kata dia, minyak goreng dari Program Minyak Goreng Rakyat ataupun yang disubsidi oleh pemerintah bisa dijual Rp 14 ribu. Harga ini pun tak bisa dijual secara merata di seluruh Indonesia. Pasalnya, daerah-daerah di luar Jawa akan menjualnya dengan harga yang lebih tinggi.

Jika pemerintah ingin menjual minyak goreng dengan harga Rp 14 ribu, maka pemerintah harus memperjelas penerima subsidinya, yang akan diberikan kepada masyarakat ataupun pelaku usaha.

Bhima mengatakan, tantangan pemerintah bukan hanya masalah harga minyak goreng curah yang disubsidi, tetapi juga minyak goreng secara keseluruhan, termasuk yang berkemasan.

“Karena jangan sampai kemasan terlalu mahal, orang migrasi ke minyak goreng curah,” katanya.

Migrasi ke minyak goreng curah akan terus berlanjut apabila perbedaan harganya dengan kemasan terlalu jauh. Misalnya minyak goreng kemasan dibanderol dengan harga Rp 26 ribu per liter, sedangkan minyak goreng curah dijual Rp 14.500 ribu per liter.

Problemnya, apabila pedagang menyerbu minyak goreng curah, kemudian penjual menjualnya dengan harga tinggi karena permintaan meningkat, maka pemerintah akan menyalahkan para penjual minyak goreng sebab tidak sesuai dengan HET.

Bhima mengatakan bahwa publik menunggu langkah pemerintah mengatur harga minyak goreng kemasan, sehingga harganya dijual di bawah Rp 20 ribu per liter.

“Kemudian curah, subsidinya diperjelas kepada siapa,” sarannya.

Jika masalah ini berasal dari pasokan, dia menyarankan pemerintah mengendalikan kebutuhan untuk biodiesel. Selain itu, pemerintah disarankan meningkatkan pungutan terhadap ekspor CPO. Dengan begitu, CPO lebih berorientasi pada kebutuhan dalam negeri.

Bulog juga bisa dilibatkan untuk menyelesaikan masalah minyak goreng di Indonesia. Pemerintah dapat mendorong Bulog untuk menyiapkan gudang dan pengaturan mekanisme pembelian ke produsen minyak goreng.

“Karena kalau mekanisme pasar di tengah harga internasional tinggi, masalahnya enggak akan selesai. Jadi, harus ada intervensi dari lembaga pemerintah, salah satunya adalah Bulog,” pungkasnya. (*)

6085768219885996691-min

TOPIK TERKAIT

BERITA UTAMA

REKOMENDASI