Oleh: Mursid Mubarak*
Baru-baru ini ramai diberitakan tentang dugaan pemalsuan tanda tangan dari seorang tokoh besar alumni Himpunan Mahasiswa islam (HMI). Bukan sekadar alumni biasa, tetapi ia juga adalah mantan Ketua Umum Pengurus Besar (PB) HMI, Arief Rosyid Hasan.
Arief tidak bisa dipisahkan dari nama besar HMI. Sebab, ia bisa dikenal luas berkat peran panjangnya sebagai aktifis HMI. Hingga saat ini, dia masih sering berkeliling ke seluruh cabang HMI di Tanah Air lantaran diundang untuk menyampaikan materi di acara-acara pelatihan HMI. Tidak sedikit kaula muda yang mengidolakan dirinya sebagai tokoh muda yang progresif dan kharismatik.
Namanya pun semakin moncer pada 2019 silam. Dia dipercaya sebagai Wakil Direktur Milenial Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf Amin. Kemudian, hingga hari ini Arief masih menjadi Komisaris PT Bank Syariah Indonesia. Dia diangkat sejak 2021.
Arief sebagai pria kelahiran Sulawesi Selatan juga tidak bisa dipisahkan dari peranan seorang tokoh besar, mantan wakil presiden dua kali, sekaligus alumnus HMI, Jusuf Kalla. Arief selama kariernya banyak bersentuhan dengan Jusuf Kalla, salah satunya dipercaya sebagai pengurus organisasi yang dipimpinnya, Dewan Mesjid Indonesia (DMI).
Namun belakangan, antara kedua tokoh itu nampaknya terjadi “pecah kongsi” lantaran Arief diduga memalsukan tanda tangan Ketum DMI, Jusuf kalla, sang “don” Arief selama ia di HMI dan merantau di ibu kota Jakarta. Arief lantas diberhentikan Jusuf kalla dari pengurus DMI.
Penulis tidak bermaksud menulis tentang biografi seorang Arief, akan tetapi kita perlu memandang dari perspektif yang lebih luas lagi bahwa praktek politik menghalalkan segala cara masih kental mewarnai perilaku tokoh HMI serta sejumlah alumninya.
Sejumlah orang mungkin menilai perkara memalsukan tanda tangan bukan perkara yang begitu krusial untuk dipersoalkan, namun menurut hemat penulis, hal tersebut adalah perkara yang penting lantaran hal itu menyangkut integritas, kejujuran, bahkan berkaitan dengan akhlak.
Apalagi hal itu dilakukan seorang pejabat BUMN. Tentu hal tersebut bertentangan dengan apa yang selalu menjadi pesan Menteri BUMN saat ini, Erick Tohir. Dia berpesan agar para pejabat BUMN dapat menjaga akhlaknya dalam menjalankan peranannya.
Aksi Arif memalsukan tanda tangan Ketum DMI dengan tujuan mengundang Wapres untuk hadir dalam sebuah acara dapat dinilai sebagai tindakan menghalalkan segala cara. Mungkin hal itu sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Gus Dur, “Kalau HMI selalu menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, sementara PMII tak pernah tahu tujuannya, apalagi caranya”.
Tentu penyematan istilah “menghalalkan segala cara” bukan sebuah prestasi yang baik, apalagi untuk dibanggakan, sebab tidak semua hal yang haram bisa seenaknya dihalalkan. Orang yang lapar tidak boleh menghalalkan aksi mencuri hanya karena ingin mencapai tujuannya yang ingin kenyang.
Adanya pemalsuan tanda tangan ini mesti dijadikan sebagai evaluasi hingga di tubuh HMI. Penulis sebagai orang yang pernah dikader di HMI menilai perilaku semacam itu kerap dilakukan oleh sejumlah oknum organisasi. Mereka menjual nama lembaga HMI demi kepentingan pribadi.
Tindakan mencari uang dengan menggunakan dalih proposal kegiatan, seperti dalih untuk berangkat Latihan Kader (LK) II, LK III, dan untuk penyelenggaraan kegiatan kerap dilakukan oleh oknum organisasi.
Organisasi perlu disterilkan dari perilaku-perilaku tersebut, sebab hal itu bisa menjadi pangkal dari perilaku buruk oknum-oknum alumni HMI ketika menjadi tokoh politik maupun menjadi pejabat publik di berbagai jenjang dan tempat.
HMI dan Kekuasaan
Di tengah banyak persoalan yang dikeluhkan oleh masyarakat, mulai dari kelangkaan minyak goreng, wacana penundaan pemilu, isu kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), dan banyak permasalahan bangsa lainnya, Ketum PB HMI beserta Ketum organisasi kemahasiswaan yang tergabung di dalam Cipayung Plus justru menikmati makan siang suguhan Presiden di Istana Negara. Pertemuan dilakukan untuk menyampaikan ke Presiden bahwa mahasiswa mendukung pemindahan Ibu Kota Negara (IKN).
Hal tersebut tentunya menyayat hati sejumlah kader HMI yang di dalam diri mereka masih mengalir darah merah semangat perjuangan untuk membela hak-hak masyarakat yang tertindas. Hal serupa pun mungkin dirasakan oleh kader organisasi mahasiswa yang lain.
Para kader HMI se-Indonesia pasti menunggu surat instruksi yang dikeluarkan Ketum PB HMI untuk melaksanakan aksi layaknya yang telah dilakukan HMI dalam proses sejarah bangsa ini.
Barangkali para petinggi organisasi itu beranggapan bahwa poin penting dari sebuah aksi ialah tuntutan tersampaikan kepada pemerintah dengan berkata, “Jika duduk ngopi dengan Presiden bisa menyampaikan aspirasi, buat apa turun ke jalanan berpanas-panasan, belum tentu juga bisa bertemu Presiden”.
Namun, mereka mungkin lupa bahwa era Soekarno tentu ada sejumlah orang di antara pembisiknya yang memberikan masukan langsung ke telinga Soekarno tentang ketidaksepahamannya dalam satu hal. Begitupun Soeharto juga memiliki kolega yang tidak sepaham dengannya dan menyampaikan masukannya ke telinga Soeharto langsung. Lantas, apakah hal tersebut mampu mengubah kebijakan politik secara besar-besaran?
Dua rezim itu jatuh disebabkan gerakan pressure yang dilakukan mahasiswa dan masyarakat. Gerakan yang nyaris tidak pernah ditemukan pasca Reformasi.
Gerakan HMI yang tumpul hari ini tentu tidak mengherankan bagi kita semua. Beberapa Kongres yang dilakukan dan dari proses penetapan Ketum PB HMI terindikasi tidak lepas dari campur tangan pihak kekuasaan, khususnya pihak Istana. Sehingga dalam setiap pengambilan keputusan besar organisasi, HMI sedikit banyaknya harus tunduk pada penguasa. (*Ketua Umum HMI Cabang Kutai Kartanegara Periode 2020-2021/Alumni Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Kutai Kartanegara).