SINTESANEWS.ID – Isu tanah adat kembali mencuat dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi 1 DPRD Kukar, ketika Sopan Sopian, anggota DPRD dari Komisi 4, menyampaikan kegelisahannya terhadap ketimpangan hak masyarakat adat atas tanah ulayat mereka.

Sopan mencontohkan kondisi di wilayah Cilong, di mana masyarakat tidak dapat membuat sertifikat tanah karena status wilayah tersebut berada dalam HGU (Hak Guna Usaha).

“Masyarakat kita belum sepenuhnya merdeka. Tidak memiliki hak legal atas tanah mereka sendiri,” ujarnya.

Politisi Gerindra dari Dapil 6 ini menilai, ketimpangan seperti ini tidak lepas dari absennya perlindungan hukum yang konkret terhadap tanah ulayat.

Ia menegaskan bahwa tanah adat bukan sekadar aset fisik, melainkan bagian dari identitas dan kehidupan sosial budaya masyarakat adat.

Ia menyerukan pentingnya perda yang tidak hanya mengakui eksistensi tanah adat, tetapi juga menguatkan posisi masyarakat adat secara hukum agar mereka dapat mengakses hak-hak konstitusionalnya.

“Kalau tidak ada perlindungan jelas, masyarakat adat akan selalu kalah dalam urusan administrasi,” katanya.

Sopan juga mengingatkan bahwa pemerintah cenderung merujuk pada regulasi formal tanpa mempertimbangkan aspek historis dan kultural.

“Pemerintah tidak tahu sejarah tanah itu, tapi masyarakat adat tahu. Maka keduanya harus duduk bersama menyelaraskan pandangan,” tegasnya.

Ia menilai, penyusunan regulasi perlu didasari pada prinsip keadilan yang tidak membenturkan hukum negara dengan hukum adat.

“Sinkronisasi itu kuncinya. Jangan sampai aturan pemerintah menekan adat. Tapi adat juga harus bisa menjawab tantangan zaman lewat kerja sama dengan pemerintah,” jelasnya.

Sopan berharap ke depan tanah-tanah adat di Kutai Kartanegara bisa dilindungi secara sah dan dikelola oleh masyarakat adat demi kesejahteraan mereka sendiri. (Adv/fi)