SINTESANEWS.ID – Maraknya kasus perundungan (bullying) yang melibatkan pelajar di Kalimantan Timur mendapat perhatian serius dari Wakil Ketua DPRD Kaltim, Ananda Emira Moeis.
Ia menyatakan keprihatinannya atas fenomena ini dan mendesak agar seluruh pihak terkait segera mengambil langkah pencegahan yang menyeluruh.
“Saya merasa sangat sedih dan prihatin mendengar betapa seringnya kita mendengar kasus bullying di lingkungan sekolah. Ini bukan lagi sekadar kenakalan remaja biasa, melainkan isu serius yang dapat merusak mental dan psikis generasi penerus bangsa,” ujar Ananda, Senin (26/5/2025).
Ananda menegaskan bahwa upaya pencegahan dan penanganan bullying tidak bisa hanya berfokus pada korban, tetapi juga harus menyentuh pelaku dan lingkungan sosialnya.
Ia mendorong agar pemerintah daerah, Dinas Pendidikan, dan institusi terkait segera memperkuat pendidikan karakter di sekolah-sekolah.
Menurutnya, pemahaman yang mendalam tentang akar persoalan bullying merupakan langkah awal untuk merancang kebijakan yang tepat sasaran.
“Ini persoalan yang kompleks, menyangkut pola asuh, tekanan sosial, bahkan budaya kekerasan yang tidak disadari,” katanya.
Ia juga mendesak agar sosialisasi mengenai bahaya bullying dilakukan secara masif, tidak hanya terbatas di sekolah, tetapi juga menyasar orang tua dan masyarakat umum.
Kolaborasi antara sekolah, komite sekolah, dan komunitas lokal dinilai krusial untuk menciptakan lingkungan yang aman dan suportif bagi pelajar.
“Kita butuh gerakan bersama. Peran guru, orang tua, dan bahkan teman sebaya harus diaktifkan agar kasus seperti ini bisa dicegah sejak dini,” tegas Ananda.
Fraksi PDI Perjuangan di DPRD Kaltim, lanjut Ananda, berkomitmen untuk mendorong kebijakan yang memperkuat perlindungan anak dan remaja, termasuk melalui regulasi daerah jika diperlukan.
Ia menyebut akan mendorong evaluasi kurikulum dan aktivitas ekstrakurikuler untuk memastikan nilai-nilai toleransi dan empati tertanam sejak dini.
Selain itu, Ananda juga mendorong agar layanan konseling di sekolah diperkuat dan lebih mudah diakses oleh siswa. I
a menilai masih banyak sekolah yang minim tenaga konselor, padahal kebutuhan akan dukungan psikologis saat ini semakin mendesak.
“Sekolah bukan hanya tempat belajar akademik, tapi juga tempat tumbuh dan berkembang secara emosional. Maka negara dan pemerintah daerah harus hadir dalam memastikan itu semua berjalan,” pungkasnya.(Adv)