SINTESANEWS.ID- Komisi IV DPRD Kalimantan Timur menemukan dugaan pelanggaran perizinan dalam pembangunan pabrik kelapa sawit (PKS) milik PT Kutai Sawit Mandiri (KSM) di Desa Swarga Bara, Kecamatan Sangatta Utara. Temuan ini diperoleh saat kunjungan kerja ke lokasi proyek, yang merupakan bagian dari agenda pengawasan yang ditetapkan Badan Musyawarah DPRD Kaltim pada 12 Maret 2025.
Ketua Komisi IV DPRD Kaltim, H. Baba, menyatakan bahwa proyek pembangunan pabrik tetap berjalan meski belum mengantongi izin lingkungan dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kutai Timur.
Ia menambahkan, sejumlah titik di lokasi pembangunan terindikasi melanggar ketentuan perizinan.
“Kami temukan beberapa indikasi pelanggaran yang perlu segera dikomunikasikan dengan pemerintah daerah dan pihak-pihak terkait, termasuk perusahaan KPC yang wilayahnya berbatasan langsung,” ujarnya dalam keterangan resmi, Sabtu (19/4/2025).
Selain perizinan, Komisi IV juga menyoroti potensi pencemaran lingkungan. Limbah dari pabrik tersebut diduga akan dialirkan ke sungai yang menjadi sumber air baku utama PDAM Hulu Sangatta.
“Kalau benar limbahnya dibuang ke sungai, ini sangat membahayakan karena sungai itu menyuplai air untuk ribuan warga,” tegas Baba.
Komisi IV berencana menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan melibatkan DLH provinsi dan kabupaten, serta manajemen PT KSM untuk menindaklanjuti temuan tersebut. Baba menyayangkan sikap perusahaan yang tidak hadir dalam kunjungan lapangan.
“Ketidakhadiran manajemen PT KSM menjadi catatan serius. Jika mereka juga tidak hadir dalam RDP, kami tidak segan merekomendasikan sanksi, termasuk pencabutan atau penolakan izin lanjutan,” tandasnya.
Sementara itu, anggota Komisi IV, Darlis Pattalongi, menjelaskan bahwa kunjungan tersebut merupakan uji petik terhadap kepatuhan perusahaan terhadap aspek lingkungan hidup.
“Fokus kami bukan pada perkebunannya, melainkan pada kepatuhan terhadap dokumen lingkungan dan teknologi pengolahan limbah,” ujarnya.
Darlis juga menyebut bahwa PT KSM belum memiliki dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), serta lokasi pembangunan pabrik yang tidak sesuai dengan tata ruang.
“Pabrik ini berdiri di kawasan pertanian, bukan kawasan industri, padahal Kutai Timur sudah memiliki kawasan yang ditetapkan khusus untuk industri. Ini jelas pelanggaran tata ruang,” pungkasnya. (Adv)