SINTESANEWS.ID- Komisi IV DPRD Kalimantan Timur mengancam akan melaporkan manajemen Rumah Sakit Haji Darjad (RSHD) ke aparat penegak hukum setelah terungkap bahwa puluhan karyawan belum menerima gaji selama empat bulan.
Masalah semakin diperkeruh oleh dugaan penggelapan iuran BPJS dan praktik intimidasi terhadap tenaga kesehatan yang berani melapor.
Ketegangan memuncak dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara DPRD Kaltim dan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kaltim, Selasa (29/4/2025), ketika pihak rumah sakit hanya mengirimkan kuasa hukum alih-alih perwakilan manajemen.
“Kami mengundang manajemen, bukan kuasa hukum. DPRD ini bukan lembaga peradilan. Kami ingin mencari solusi langsung, bukan mendengar pembelaan hukum,” tegas Wakil Ketua Komisi IV, Andi Satya Adi Saputra, sebelum meminta kuasa hukum RSHD meninggalkan ruangan.
Komisi IV menyebut telah menemukan sejumlah pelanggaran serius, termasuk absennya kontrak kerja resmi, pemotongan iuran BPJS tanpa pendaftaran aktif, hingga tekanan dan mutasi terhadap karyawan yang bersuara.
“Kalau soal keterlambatan gaji itu administrasi. Tapi kalau memotong BPJS tapi tidak menyetor, itu penggelapan, ranah pidana,” ujar Andi dengan nada tinggi.
Andi juga memberikan apresiasi kepada tenaga kesehatan yang tetap bekerja melayani pasien meski tidak digaji selama berbulan-bulan.
“Ini menunjukkan profesionalisme luar biasa. Tapi ini juga tanggung jawab kita untuk memperjuangkan hak mereka,” tambahnya.
Komisi IV memberi tenggat waktu hingga 7 Mei 2025 kepada manajemen RSHD untuk menyelesaikan tunggakan gaji.
Jika tidak ada langkah konkret, DPRD akan menyerahkan kasus ini kepada aparat penegak hukum.
Kepala Disnakertrans Kaltim, Rozani Erawadi, turut membenarkan persoalan administrasi di RSHD.
Ia menyebut banyak karyawan tidak memiliki kejelasan hubungan kerja, slip gaji tidak tersedia, dan pemotongan BPJS tidak transparan.
“Ini persoalan serius. Kalau mediasi gagal, jalur hukum jadi satu-satunya opsi,” kata Rozani.
Di sisi lain, sejumlah karyawan dan mantan karyawan menceritakan kondisi kerja yang makin memburuk. Hana, yang baru mengundurkan diri, mengaku empat bulan bekerja tanpa gaji dan sempat diblokir oleh manajemen saat menuntut haknya.
“Saya seperti kerja bakti. HRD bahkan bekerja dari rumah tanpa kejelasan, tapi SP (surat peringatan) mudah sekali dikeluarkan,” ungkapnya.
Sementara itu, Ardi, salah satu karyawan aktif, mengaku mengalami intimidasi setelah menyampaikan keluhan.
“Kami tetap layani pasien meski tak digaji, tapi tekanan dan ancaman mutasi terus terjadi. Kami butuh perlindungan,” tuturnya.(Adv)