SINTESANEWS.ID- Puluhan warga transmigran dari Simpang Pasir kembali menagih janji Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur (Pemprov Kaltim) terkait kompensasi lahan yang digunakan untuk pembangunan Stadion Utama Palaran pada 2008 silam.
Desakan ini disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar DPRD Kaltim pada Rabu, 30 April 2025.
RDP yang digelar di Gedung E DPRD Kaltim itu merupakan yang ketiga kalinya membahas tuntutan kompensasi atas lahan yang digusur untuk kepentingan proyek fasilitas Pekan Olahraga Nasional (PON) XVII.
Sekretaris Komisi I DPRD Kaltim, Salehuddin, menyatakan pihaknya terus mengawal persoalan ini agar warga mendapatkan haknya secara sah.
“Kami tetap mendorong apapun bentuk kompensasinya—baik dalam bentuk uang atau lahan—yang penting sesuai prosedur dan kesepakatan bersama,” tegasnya.
Dari data yang disampaikan kuasa hukum warga, Yafet Deppgoga, diketahui bahwa kasus ini telah bergulir sejak 2017 dan belum menemui titik terang. Gugatan warga tahun 2017 yang melibatkan 118 kepala keluarga (KK) hingga kini belum dituntaskan, berbeda dengan kompensasi tahun 2018 dan 2019 yang telah dibayarkan masing-masing kepada 70 KK dan 14 KK.
“Per KK saat itu dijanjikan Rp500 juta. Untuk tahun 2018 saja totalnya mencapai Rp35 miliar, dan tahun 2017 sekitar Rp7 miliar. Tapi belum ada kepastian hingga sekarang,” ujar Yafet.
Ia juga mengungkapkan bahwa aparat penegak hukum sempat menanyakan perkembangan kasus ini, namun tak kunjung ada keputusan konkret dari Pemprov. “Kami hanya ingin duduk bersama untuk mencari kesepakatan. Tapi hingga RDP ketiga ini pun belum ada hasilnya,” tambahnya.
Menanggapi hal ini, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kaltim, Rozani Erawadi, menyebut pemerintah telah melakukan verifikasi data penerima kompensasi berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
“Pemerintah tetap beritikad baik. Jika nanti ada putusan hukum yang berkekuatan tetap, kami siap menjalankan,” ucapnya.
Rozani juga menyebutkan bahwa pihaknya sempat menawarkan lahan pengganti di Desa Kerang (Kabupaten Paser) dan Desa Maloy (Kutai Timur), namun tawaran itu ditolak warga.
“Karena itu kami sedang meminta fatwa Mahkamah Agung untuk mencari solusi hukum,” tutupnya. (Adv)
































