SINTESANEWS.ID – Manajemen PT Pertamina Hulu Mahakam (PHM) menanggapi tudingan Bubuhan Suara Rakyat (Busur) Kukar terkait potensi pencemaran lingkungan yang dilakukan perusahaan tersebut saat mengangkut limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) di wilayah Desa Sungai Mariam, Kecamatan Anggana, Kukar.
Manajemen PHM menyampaikan komitmen perusahaan untuk senantiasa menjalankan operasi minyak dan gas bumi (migas) yang selamat, handal, patuh, dan ramah lingkungan, termasuk menjaga kepatuhan dalam pengelolaan limbah perusahaan.
Saat ini, PHM mengelola operasi migas di Wilayah Kerja Mahakam, sebagai salah satu tulang punggung produksi gas nasional yang penting bagi pemenuhan kebutuhan energi Indonesia.
Sr. Manager Relations PHI Farah Dewi menyatakan bahwa PHM senantiasa menjalankan operasi migas yang selamat, handal, ramah lingkungan, dan patuh terhadap semua peraturan dan perundangan yang berlaku di Indonesia, termasuk peraturan di bidang lingkungan.
“Dalam menjalankan pengelolaan limbah yang dihasilkan dari kegiatan operasi, perusahaan berkoordinasi dengan instansi pemerintah yang berwenang seperti SKK Migas dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), baik di tingkat pusat maupun daerah, untuk memastikan kepatuhan perusahaan terhadap peraturan dan perundangan yang berlaku,” jelas Farah, Senin (1/8/2022).
Farah menambahkan bahwa PHM bekerja sama dengan perusahaan pihak ketiga yang memiliki kualifikasi dalam pengolahan limbah B3 untuk memastikan efektivitas pengolahan limbah dan kepatuhan terhadap persyaratan peraturan lingkungan yang berlaku.
“Kami memastikan seluruh pihak yang mendukung operasi migas PHM dapat menunjukkan kinerja terbaik dalam menjalankan operasi yang selamat, patuh dan ramah lingkungan,” imbuh Farah.
Sebagai wujud komitmen PHM yang tinggi dalam pengelolaan lingkungan, pada penilaian kinerja lingkungan yang dilakukan oleh KLHK tahun 2021 melalui program PROPER, PHM telah berhasil memperoleh peringkat Hijau dan Emas, yang berarti melebihi kepatuhan atau “beyond compliance” untuk seluruh lapangan migas PHM yang berada di WK Mahakam.
PHM memiliki program pengurangan polusi, efisiensi energi, inovasi lingkungan yang sangat baik, dan program-program pemberdayaan masyarakat atau CSR yang sukses dalam mendukung kemandirian masyarakat dan melindungi keanekaragaman hayati.
“Kami meyakini bahwa operasi migas yang selamat, handal, patuh dan ramah lingkungan dapat terus menghasilkan energi yang penting bagi Indonesia serta memberikan nilai yang signifikan bagi seluruh pemangku kepentingan, termasuk pemerintah dan masyarakat,” pungkasnya.
Diketahui, PHM merupakan anak perusahaan PHI yang menjalankan operasi dan bisnis hulu migas sesuai prinsip ESG (Environment, Social, Governance) di Wilayah Kerja Mahakam di Kalimantan Timur.
PHM bersama anak perusahaan dan afiliasi PHI lainnya terus melakukan beragam inovasi dan aplikasi teknologi dalam menghasilkan energi yang selamat, efisien, handal, patuh, dan ramah lingkungan demi mewujudkan energi Kalimantan untuk Indonesia.
Sebelumnya, Busur Kukar melakukan penelusuran dalam satu bulan belakangan terkait dugaan pelanggaran penggunaan shore base dan tongkang penyimpanan limbah B3 pengeboran PT PHM di Desa Sungai Mariam.
Shore base atau pelabuhan tersebut dikelola oleh PT Buran Nusa Respati (PT BNR). Risal Bakry, Koordinator Busur Kukar, mengungkapkan bahwa kapal tongkang sering melakukan pemuatan limbah B3 di pelabuhan tersebut.
Selanjutnya, tongkang tersebut dialihkan di tengah sungai sebagai Tempat Penyimpanan Sementara (TPS) dalam jangka waktu yang cukup lama.
Terakhir, pada 21 Juli 2022 Busur Kukar melakukan pemantauan di area tersebut. Tongkang penyimpanan limbah B3 itu masih ada.
Bagi Busur Kukar, hal ini jelas melanggar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan PP 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Kata dia, kegiatan pengelolaan limbah B3, untuk penyimpanan sementara limbah B3 ataupun limbah non B3, tidak ada yang berbentuk kapal maupun tongkang.
Selain itu, Busur Kukar menyatakan bahwa aktifitas seperti itu memerlukan rincian teknis dan persetujuan lingkungan. Maka dari itu, penggunaan kapal tongkang sebagai Tempat Penyimpanan Sementara (TPS) Limbah B3 di tengah sungai area PT BNR dianggap keliru dan melanggar aturan perundang-undangan, dan tindakan tersebut jelas salah, karena berpotensi mencemari lingkungan di sekitarnya, apalagi disimpan di tengah sungai.
Saat terjadi kebocoran, maka akan merugikan para nelayan dan masyarakat di sekitarnya.
“Pemerintah harus cepat menyelesaikan persoalan ini sebagai upaya preventif, karena ini bisa membahayakan ke depannya,” ujar Risal, Selasa (26/7/2022).
Sementara itu, Kepala Bidang Penaatan dan Peningkatan Kapasitas Lingkungan Hidup DLH Kaltim, Rudiansyah mengungkapkan, pada 26 Juli lalu pihaknya telah melakukan pemantauan di lokasi tersebut.
“Baru minggu lalu kita pantau, karena memang ini terkait pengaduan kegiatan. Dalam rangka menindaklanjutinya kita melakukan verifikasi lapangan,” ungkap Rudi saat ditemui di Kantor DLH Kaltim pada Senin pagi.
Berdasarkan hasil verifikasi tersebut, DLH Kaltim menemukan terdapat kegiatan pengangkutan limbah B3. Hal ini membenarkan temuan Busur Kukar.
“Di situ ada pemindahan limbah dari PHM, kemudian sampai ke jetty-nya PT Buran Nusa Respati. Lalu ditransfer dari barging kecil ke barging yang lebih besar,” urainya.
Aktivitas pemindahan limbah B3 tersebut, sambung Rudi, berisiko mencemari lingkungan sekitar. Meski begitu, DLH Kaltim belum menemukan pencemaran lingkungan dari aktivitas tersebut.
“Saat ini kami sedang mempelajari apakah kegiatan yang dimaksud itu sudah sesuai dengan aturan atau tidak,” katanya.
Jika DLH Kaltim menemukan bahwa aktivitas perusahaan-perusahaan tersebut tidak sesuai aturan, maka pihaknya akan memberikan sanksi kepada perusahaan-perusahaan yang terlibat di dalamnya.
“Kalau nanti ditemukan terjadi kelalaian dalam pengelolaan lingkungan hidup, maka kita akan terbitkan sanksi administratif,” tegasnya.
Sanksi administratif, lanjut dia, meliputi teguran tertulis, paksaan pemerintah, pembekuan izin, dan pencabutan izin, yang merupakan sanksi tertinggi dalam sanksi administratif.
Rudi menegaskan, jika aktivitas tersebut mengakibatkan pencemaran lingkungan, pemerintah dapat menjatuhkan sanksi penghentian kegiatan pengangkutan limbah B3 tersebut. “Itu sanksi tertinggi yang bisa diberikan,” ucapnya. (*)