SINTESANEWS.ID – Perang Dunia II mengubah ‘peta’ dunia. Perang itu tidak hanya membuat fasisme runtuh, tetapi juga melahirkan ‘blok’ di tataran global.
Usai Perang Dunia II, lahir dua negara superpower yaitu Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet. Keduanya mengklaim paling berjasa dalam menuntaskan perang tersebut.
AS menyebut diri sebagai pihak yang mengakhiri Perang Dunia II. Setelah Jepang menyerah tanpa syarat pada 2 September 1945 di atas Kapal USS Missouri, Perang Dunia II memang resmi berakhir. Kekuatan kubu Poros atau Aksis resmi takluk di hadapan Sekutu atau Aliansi.
Namun Soviet menilai mereka yang paling berjasa karena berhasil meruntuhkan Nazi Jerman. Pasukan Merah berhasil mengepung Berlin, membuat Adolf Hitler tersudut dan mengakhiri hidupnya sendiri di bunker perlindungan.
Nazi Jerman resmi meneken pernyataan menyerah kalah pada 8 Mei 1945. Inilah yang membuat 8 Mei menjadi hari libur nasional di Rusia, sampai sekarang. Hari Kemenangan (Victory Day) atau Hari Pembebasan (Liberation Day) dirayakan besar-besaran di Negeri Beruang Merah, dengan parade armada militer dalam skala masif.
Selepas Perang Dunia II, AS dan Soviet berebut pengaruh di seluruh dunia. Atas nama penyebaran ideologi, kapitalisme versus komunisme, kedua negara ini mencoba merangkul kawan dan mengidentifikasi pihak yang berbeda pandangan sebagai lawan.
Kubu AS dan yang sepaham dengannya dikenal sebagai Blok Barat. Sementara Soviet dan kawan-kawan adalah Blok Timur.
Blok Barat pimpinan AS antara lain adalah Kanada, Prancis, Jerman (Barat), Yunani, Inggris, Italia, Belanda, Portugal, Spanyol, Jepang, Korea Selatan, dan lain-lain. Sementara Blok Timur pimpinan Soviet dipihaki oleh Kuba, Jerman (Timur), China, Korea Utara, Bulgaria, Hungaria, Rumania, Polandia, dan sebagainya.
Washington dan Moskow bersaing di berbagai bidang. Ekonomi, pertahanan, kebudayaan, politik, dan sebagainya.
Persaingan ini bahkan tidak hanya terbatas di Bumi, tetapi sampai ke luar angkasa. Yuri Gagarin (Soviet) boleh jadi manusia pertama yang pergi ke luar angkasa, tetapi Neil Armstrong (AS) menjadi yang pertama menginjakkan kaki di bulan dan menancapkan bendera Stars and Stripes. Perlombaan ruang angkasa alias Space Race adalah gambaran bagaimana digdayanya teknologi kedua negara.
Persaingan Blok Barat dan Blok Timur itu kerap disebut sebagai Periode Perang Dingin. Memang tidak ada perang terbuka antara AS dan Soviet, tetapi aroma persaingan amatlah terasa. Keduanya saling melebarkan pengaruh, saling berlomba untuk menjadi yang paling berkuasa di Planet Bumi.
Pada awal dekade 1990-an, Perang Dingin berakhir. Uni Soviet sebagai sebuah negara bubar dan pada 26 Desember 1991 terpecah menjadi negara-negara yang berdaulat. Salah satunya adalah Rusia, yang sering disebut sebagai ‘pewaris’ Uni Soviet.
Kini, perang datang lagi. Skalanya tidak sebesar Perang Dunia II, tetapi tetap menimbulkan duka.
Pada 24 Februari 2022, Rusia mengumumkan serangan ke Ukraina. Serangan yang disebut Presiden Vladimir Putin sebagai operasi militer khusus, tetapi diklaim sebagai invasi oleh AS dan sekutunya.
Akibat serangan ke Rusia, AS dan sekutunya menjatuhkan sanksi kepada Rusia, termasuk sanksi ekonomi. Misalnya, AS dan Uni Eropa melarang impor minyak asal Rusia.
Namun bukan berarti Rusia kehilangan konsumen. China, saudara seperjuangan Rusia pada era Soviet, kembali menjadi mitra strategis.
Saat minyak Rusia ‘haram’ masuk AS dan negara-negara Uni Eropa, China adalah pasar yang sangat menjanjikan. China pun tidak keberatan membeli minyak Rusia dengan mata uang rubel, karena harganya lebih murah dari harga pasar. China kini menjadi pembeli minyak terbesar buat Rusia, menggeser posisi yang sebelumnya ditempati Uni Eropa.
Mengutip catatan Refinitiv, rata-rata ekspor minyak dari Rusia menuju China pada Januari-Juli 2022 adalah 3.389 kilo ton/bulan. Pada periode yang sama tahun lalu, rata-ratanya adalah 2.212,21 kilo ton/bulan. Artinya, ada lonjakan 53,19%.
“Ekspor minyak Rusia rata-rata 3,36 juta barel/hari pada 1-16 Agustus 2022. Ini menjadi bulan kelima secara beruntun ekspor minyak Rusia berada di atas rata-rata sebelum perang,” sebut laporan S&P Global.
Sementara ekspor produk minyak dari Rusia rata-rata adalah 2,75 barel/hari. Ini adalah yang tertinggi sejak serangan ke Ukraina 24 Februari lalu.
Kemesraan Rusia-China memunculkan romantisme. Dulu, pada masa Perang Dingin, hubungan keduanya begitu erat karena sama-sama menganut paham komunisme. Soal perbedaan antara Leninisme dan Maoisme kita kesampingkan dulu, yang jelas sama-sama meyakini ajaran Karl Marx.
Kini, cinta lama itu bersemi kembali. Kemesraan hubungan tersebut seakan menghidupkan kembali memori masa lalu, kala Poros Moskow-Beijing terbentuk saat Perang Dingin.
Dibandingkan dulu, Poros Moskow-Beijing yang sekarang lebih mengerikan. Pada masa Perang Dingin, China belum jadi apa-apa. Sekarang, Negeri Tirai Bambu adalah negara dengan perekonomian terbesar kedua dunia.
Pada 2021, Produk Domestik Bruto (PDB) China bernilai US$ 17,73 triliun. Sedangkan PDB Rusia ada di US$ 1,78 triliun. Jadi, kalau digabungkan maka nilainya mencapai US$ 19,51 triliun.
Dengan asumsi US$ 1 setara dengan Rp 14.851 seperti kurs tengah Bank Indonesia (BI) 24 Agustus 2022, maka US$ 19,51 triliun bernilai Rp 289.743 triliun.
Kedua negara juga mampu menjadi basis produksi maupun konsumsi dunia. Menurut catatan Statista, China adalah negara dengan produksi manufaktur terbesar dunia. Produk manufaktur China mencakup 28,7% dari produksi dunia.
Di sisi konsumsi, kedua negara memiliki populasi yang besar. Populasi China mencapai 1,44 miliar jiwa sedangkan Rusia 146,07 juta.
Total populasi kedua negara adalah 1,59 miliar jiwa. Dengan populasi dunia yang sekitar 8 miliar jiwa, maka jumlah penduduk China dan Rusia menyumbang hampir 20%. Sebuah pasar yang sangat menjanjikan.
So, bagaimana posisi Indonesia? Apakah Poros Jakarta-Peking-Moskow pada masa Orde Lama layak untuk dihidupkan kembali?
Well, sampai saat ini Indonesia masih menganut politik luar negeri bebas-aktif. Indonesia tidak merapat ke blok mana pun. Tidak ke Timur, tidak juga ke Barat.
Sejauh ini hubungan Indonesia dengan AS, Rusia, hingga China terjaga dengan baik. Indonesia tidak ikut-ikutan menjatuhkan sanksi kepada Rusia, dan mencoba menjadi juru damai dalam konflik Rusia-Ukraina. (*)
Sumber: CNBC Indonesia