SINTESANEWS.ID – Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kutai Kartanegara (Kukar), Ahmad Yani, kembali angkat bicara soal konflik lahan yang berlarut-larut di wilayah Marangkayu.
Persoalan ini terkait pembangunan bendungan yang masuk dalam daftar Proyek Strategis Nasional (PSN), namun hingga kini belum kunjung tuntas akibat polemik Hak Guna Usaha (HGU) yang membayangi proses ganti rugi kepada masyarakat terdampak.
“Persoalan ini sudah berlarut-larut. Sudah dimediasi di tingkat kabupaten, bahkan oleh Pj Gubernur. Tapi sampai hari ini belum ada penyelesaian,” ujar Yani, Rabu (9/7/2025).
Ia menegaskan bahwa DPRD Kukar tidak tinggal diam dan terus menggunakan kewenangan yang dimiliki untuk mendorong penyelesaian segera.
Menurutnya, alasan HGU yang selama ini digunakan sebagai penghambat pencairan ganti rugi dinilai tidak logis. Ahmad Yani menyoroti bahwa lahan yang disengketakan tidak menunjukkan adanya aktivitas usaha oleh perusahaan pemegang HGU. Justru, lanjutnya, lahan tersebut selama ini diolah dan ditanami oleh masyarakat.
“Tidak bisa dibayar karena ada HGU, tapi HGU-nya sendiri tidak jelas. Tidak ada aktivitas usaha di lahan itu dan tidak ada tanaman milik perusahaan. Justru masyarakat yang menanam dan mengelola,” tegasnya.
Ia juga menambahkan bahwa berdasarkan keterangan dari Dinas Perkebunan Kukar, perusahaan pemegang HGU tersebut sudah tidak aktif.
Padahal, proyek pembangunan bendungan yang menjadi bagian dari PSN seharusnya mendapat dukungan penuh dari semua pihak, termasuk perusahaan.
“HGU tidak boleh berada di atas proyek strategis nasional. Ini proyek negara, dan seharusnya tidak ada yang menghambat. Apalagi jika HGU itu milik BUMN, tentu mereka harus bersikap lebih bijak, bukan malah menggugat rakyat,” ujar Yani.
Lebih jauh, ia mengungkapkan adanya kesalahan administratif dalam dokumen HGU yang digunakan sebagai dasar sengketa.
Sertifikat HGU yang tercatat berada di Desa Tanjung Limau, Kecamatan Muara Badak, ternyata digunakan untuk menggugat lahan di Desa Sebuntal, Kecamatan Marangkayu.
“Itu artinya tidak ada kaitan hukum secara langsung. Jadi kenapa harus dihalangi dengan alasan proses pengadilan? Itu hanya akal-akalan,” ujarnya tajam.
Yani menjelaskan bahwa dari sisi teknis, semua pihak seperti Balai Wilayah Sungai (BWS) sudah siap menjalankan proyek.
Namun, mereka masih menunggu instruksi tertulis dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebagai dasar pelaksanaan pencairan dana ganti rugi.
“Dalam rapat, sudah kami tegaskan bahwa BPN harus segera menyurati BWS untuk memproses pembayaran. Aturannya sudah jelas, tinggal kemauan eksekusi saja,” tegasnya.
Kondisi masyarakat yang terdampak pun tak luput dari perhatiannya. Ia menyampaikan keprihatinan mendalam atas kehidupan warga yang terganggu.
Banyak rumah yang terendam, tanaman rusak, dan aktivitas ekonomi nyaris lumpuh akibat genangan air dari proyek yang belum rampung tersebut.
“Proyek ini tidak bisa jalan karena hak-hak masyarakat belum diselesaikan. Jadi ada dua persoalan besar: proyek PSN belum bisa dilaksanakan, dan hak masyarakat belum dipenuhi,” paparnya.
Ahmad Yani meminta agar seluruh pihak duduk bersama menyelesaikan persoalan ini, tanpa lagi melibatkan konflik kepentingan yang justru memperkeruh suasana.
Ia menegaskan bahwa masyarakat tidak menuntut berlebihan, hanya ingin lahan mereka dibebaskan dan diberikan kejelasan untuk melanjutkan hidup.
“Masyarakat tidak menggugat siapa pun. Justru mereka yang digugat tanpa pernah dibayar. Itu tidak logis,” tandasnya.
Dengan nada penuh harap dan dorongan moral, Ketua DPRD Kukar ini mengajak semua pihak untuk tidak lagi menunda-nunda.
“Jangan terus dipolitisasi atau dijadikan alasan untuk memperlambat proyek strategis negara. Hak masyarakat harus diselesaikan sekarang,” pungkasnya. (Adv/fi)
































