Oleh: Haji Mubarak*
Dua pekan sudah Idulfitri 1443 H berlalu, di saat perayaan hari raya, sering kita mendengar ucapan selamat berlebaran diiringi “minal aidin wal faizin”. Ucapan ini sebenarnya adalah ucapan salam selamat (al tahni’ah) sekaligus doa yang selengkapnya berbunyi “Ja’alanâ allâh wa iyâkum min al ‘âidîn wa al fâizîn”, yang artinya, “Semoga Allah menjadikan kami dan kalian semua kembali dalam keadaan suci dan memperolah keberuntungan.” Pada kalimat tersebut terdapat kata “al ‘âidîn” yang berarti “orang-orang yang kembali (suci)” sementara kata “al fâizîn” artinya “orang-orang yang beruntung.”
Kedua kata tersebut dalam ilmu Nahwu (ilmu gramatika dalam bahasa Arab) merupakan kata benda (ism) berbentuk jamak muzakkar salim terambil dari wazan fa’il. Asalnya berbunyi “al ‘âidûn” dan “al fâizûn”, namun karena terhukum Khafadh/Jar karena didahului salah satu huruf khafadh/jar yakni “min” maka huruf yang asalnya “wawu” berganti menjadi “ya” sehingga berbunyi sebagaimana disebutkan sebelumnya. Kata “al ‘âidûn” terambil dari kata kerja (fi’l) “âda, ya’ûdu, ‘audatan” berarti kembali. Adapun kata “al fâizûn” terambil dari kata kerja (fi’l) “fâza, yafûzu, fauzan” dengan arti keberuntungan, kesuksesan, kemenangan.
Sehubungan dengan doa di atas (Ja’alanâ allâh min al ‘âidîn wa al fâizîn), ternyata jaminan kembali suci tidak berlaku bagi semua orang Islam. Ketentuan ini hanya berlaku bagi mereka yang menegakkan Ramadan dengan berpuasa dan diiringi ibadah lainnya karena iman kepada Allah serta mengharapkan pahala dari-Nya. Hal ini tercantum dalam sebuah hadis di dalam Musnad Ahmad bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Bulan Ramadhan adalah bulan di mana Allah ‘Azza Wajalla mewajibkan puasa, dan aku telah membuat sunnah untuk shalat malamnya bagi kaum muslimin. Barangsiapa berpuasa karena mengharap pahala dari Allah, niscaya dosa-dosa akan keluar seperti hari dia dilahirkan oleh ibunya.”
Sementara itu, penyertaan harapan dalam doa di atas dimaksudkan agar setelah bulan Ramadhan berlalu maka orang-orang yang berpuasa serta mendirikan ibadah di dalamnya, selain kembali dalam keadaan suci, juga meraih keberuntungan. Dalam Musnad Ahmad pula terdapat hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: “…rugilah seorang laki-laki yang datang padanya bulan Ramadan kemudian setelah berakhirnya dia belum mendapatkan ampunan…”.
Pertanyaan yang relevan untuk kita berikan jawabannya, adakah tanda-tanda kesucian pasca Ramadan sudah kita rasakan? Atau, sudahkah kita merasa meraih keberuntungan setelah Ramadan berlalu?
Sekadar memberi perspektif guna menjawab pertanyaan di atas, disebutkan dalam Kitab Lathâif al-Ma’ârif: Fîmâ Limawâshim al’Âm min al Wazhâif bahwa tanda-tanda jika Allah SWT menerima amaliyah seorang hamba maka Dia akan ringankan hamba tersebut untuk menyelaraskan amalan-amalan kebaikan setelahnya. Mengenai hal ini, sebagian ulama berpendapat bahwa pahala suatu kebaikan ialah kebaikan setelahnya. Seseorang yang memperbuat suatu kebaikan kemudian mengiringinya dengan suatu kebaikan lain setelahnya maka hal itu menjadi tanda bahwa kebaikan yang pertama diterima pahalanya. Sementara itu, bagi seseorang yang melakukan suatu kebaikan namun mengiringinya dengan suatu perbuatan dosa setelahnya maka hal itu menjadi tanda tertolaknya amalan kebaikan yang telah dilakukan (Ibn Rajab, 1999:394).
Dengan demikian, tanda-tanda seorang memperoleh kesucian Ramadan ialah jika kurikulum Ramadan yang telah dilaluinya terus diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari setelah bulan Ramadan berakhir. Dan tentunya, amalan kebaikan yang paling dicintai di sisi Allah ialah amalan yang rutin dan terus-menerus (istiqâmah) meskipun sedikit. Dalam suatu hadis yang diriwayatkan, antara lain Abu Daud, An Nasa’i, Ibnu Majah, dan Ibnu Khuzaimah, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Bebanilah diri kalian dengan amalan kebaikan sesuai dengan kemampuan kalian karena Allah tidaklah bosan sehingga kalian merasa bosan. Bahwasanya amalan kebaikan yang paling dicintai oleh Allah adalah amalan yang berterusan walaupun sedikit.” Hadis ini memberikan penekanan bahwa amalan kebaikan hendaknya dilaksanakan secara rutin dan terus-menerus meskipun dilakukan hanya menurut kemampuan seseorang dalam mengerjakannya. Dalam beribadah yang rutin ini hendaknya menjauhi segala bentuk amaliyah yang berlebihan namun cepat bosannya hingga terputus lalu terabaikan.
Lalu, bagaimana mengetahui seseorang meraih keberuntungan setelah Ramadan berlalu? Untuk hal ini kita kembali kepada Alquran. Disebutkan dalam Surat Yunus (10) ayat 63-64 bahwa orang-orang yang meraih keberuntungan itu secara umum ialah orang-orang beriman dan bertakwa, sebagaimana firman Allah: “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan senantiasa bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan di akhirat. Tidak ada perubahan bagi janji-janji Allah. Demikian itulah kemenangan yang agung.” Pada surat lainnya, Al-Mu’minun (23) ayat 1-5, Allah pula berfirman: “Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, (yaitu) orang yang khusyuk dalam salatnya, dan orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna, dan orang yang menunaikan zakat, dan orang yang memelihara kemaluannya.” Dan tentunya, banyak lagi ayat lainnya tentang keberuntungan ini.
Keberuntungan yang didapatkan oleh seseorang setelah Ramadan terpancar dari keindahan perbuatan ibadahnya setelah Ramadan itu berlalu. Di dalam Kitab Lathâif al-Ma’ârif (Ibn Rajab, 1999:396) disebutkan bahwa Abu Nashr Bisyr bin al-Haris al-Hafi pernah ditanya tentang suatu kaum yang beribadah dan bersungguh-sungguh dalam melaksanakan berbagai ibadah itu hanya di bulan Ramadan. Beliau (Bisyr bin al-Haris) mengatakan: “Seburuk-buruk kaum ialah mereka yang tidak mengenal Allah dengan sebenar-benarnya (memberikan peribadatan terbaik) kecuali hanya di bulan Ramadan.” Maksud pernyataan ini, memprioritaskan ibadah hanya di bulan Ramadan dan mengabaikan peribadatan terbaik setelah Ramadan itu berlalu atau bulan-bulan lainnya adalah termasuk perbuatan yang buruk. Dengan demikian maka orang-orang yang beruntung setelah Ramadan berlalu adalah orang yang menjaga kualitas iman dan takwanya hingga mampu berlaku istiqâmah baik di saat menjalani ibadah di bulan Ramadan maupun setelah Ramadan itu berlalu. Wa Allâh al Musta’ân, wa ilâ Allâh Turja’ al Umûr. (*Dekan Fakultas Agama Islam Universitas Kutai Kartanegara)