Elisa Wulan Oktavia*
Akhir-akhir ini kita dibombardir dengan informasi kasus pelecehan seksual, pencabulan bahkan pemerkosaan. Hal yang tidak lagi tabu kita dengar, bahkan bahasa pemerkosaan pun seringkali diperhalus dengan kata pelecehan dan pencabulan, kemudian pengertiannya dianggap sama. Padahal ketiga hal ini berbeda.
Di Indonesia, perempuan dianggap sebagai sumber fitnah. Bentuk lekukan tubuh yang indah menjadi obyek seksual. Perempuan pun diharuskan berpakaian tertutup dan longgar. Tetapi ternyata tidak semua yang tertutup itu aman, misalnya saja tempat pendidikan yang berbasis agama, akhir-akhir ini justru menjadi “tempat paling aman” melangsungkan kegiatan pelecehan sekesual.
Pelecehan seksual dianggap sebagai pelanggaran serius. Namun sampai pada hari ini tidak ada undang-undang khusus yang mengatur bentuk pelecehan, kekerasan seksual, sanksi dan cara mengatasinya.
Pelecehan seksual hanya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 294 ayat 2. Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) tak kunjung disahkan oleh pemerintah, padahal ini menjadi satu-satunya harapan untuk mengurangi kekerasan seksual di Indonesia.
Di Kalimantan Timur (Kaltim), kasus kekerasan perempuan dan anak tahun 2021 tercatat sebanyak 32 kasus dengan total korban 36 orang. Data ini diperoleh karena korban melakukan pelaporan atau gugatan secara hukum. Bagaimana dengan korban yang tidak melaporkan diri karena masih dianggap aib oleh korban dan keluarganya? Mungkin lebih banyak dari jumlah tersebut.
Kasus di Kaltim yang muncul di publik, misalnya baru-baru ini di Balikpapan yaitu Pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) melecehkan 13 orang santriwati. Yang terbaru juga di Kutai Kartanegara (Kukar), di salah satu Ponpes di Tenggarong diduga terdapat kasus pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur. Bahkan, berdasarkan berita yang beredar, santriwati tersebut kini sedang hamil.
Pelecehan seksual pada intinya adalah penyalahgunaan kekuasaan atau otoritas sekali pun pelaku mencoba meyakinkan korban. Ketika pelaku dikonfrontasi atas tindakannya tersebut, mereka sering kali bertingkah seolah merekalah yang korban, atau semua itu terjadi karena kesalahan si korban menarik perhatian.
Alih-alih menyalahkan pelaku, sering kali korbanlah yang disalahkan. Apa pun alasannya, perempuan tidak boleh diperkosa atau dilecehkan. Justru korban harus diberi perlindungan, bukan dikutuk atau diolok. Paradigma masyarakat yang masih merendahkan korban pelecehan dan kekerasan seksual harus diubah, sebab pemulihan korban juga perlu didukung lingkungan sekitarnya.
Pelaku kejahatan seperti ini tentu seharusnya dihukum seberat-beratnya karena pelecehan seksual adalah perbuatan seseorang yang melecehkan baik dia anak perempuan maupun anak laki-laki, baik dengan cara memeluknya, menciumnya, ataupun memegang anggota tubuhnya yang dianggap tabu. Maka bagi pelaku pelecehan seksual tersebut diancam dengan pidana penjara minimal lima tahun dan maksimal 15 tahun. Ini berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Apabila seseorang melakukan kekerasan atau pemerkosaan terhadap anak dengan disertai persetubuhan, maka sang pelaku juga hanya diancam dengan pidana penjara minimal lima tahun dan maksimal 15 tahun, sehingga antara pelaku pelecehan seksual dan pelaku kekerasan seksual ancamannya sama saja.
Pelecehan, kekerasan ataupun pemerkosaan ancaman hukumannya pun sama. Harapannya, kasus yang diduga pencabulan di Ponpes Tenggarong juga dapat disikapi dengan seadil-adilnya. Penegak hukum pun harus bertindak cepat menangani kasus ini dan segera menetapkan tersangkanya. Jangan sampai ini menjadi preseden buruk bagi Ponpes lain di Kukar.
Sebab dampak dari pelecehan dan pemerkosaan akan berkepanjangan. Masalah psikis berpengaruh buruk pada psikologis korban. Di samping itu, tak jarang korban mengalami penurunan prestasi akademik atau bahkan kehilangan masa depan yang diimpikan.
Dampak pelecehan seksual terhadap psikis tak berhenti sampai di situ saja. Dalam beberapa kasus, pelecehan seksual juga bisa menyebabkan Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD), terutama bila pelecehan itu mengarah pada penyerangan, pemerkosaan, intimidasi atau ancaman pemerkosaan, hingga penyiksaan seksual.
Hal yang paling mengkhawatirkan, menurut para ahli di National Institutes of Health–National Institute of Mental Health, PTSD yang tidak tertangani dengan baik bisa menimbulkan keinginan untuk bunuh diri.
Pemerintah Daerah (Pemda) juga harus melakukan pendampingan terhadap korban. Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa Kukar pernah menerima penghargaan kota layak anak pada tahun 2019 dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P3A) Republik Indonesia. Penghargaan tersebut diberikan di Hotel Four Points Makassar pada 23 Juli 2019 dalam Peringatan Hari Anak Nasional.
Kemudian Kukar kembali menerima penghargaan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) tingkat Madya 2021 dari Menteri P3A I Gusti Ayu Bintang Darmawati secara virtual. Saat itu, kegiatan ini diikuti seluruh kepala daerah kabupaten/kota se-Indonesia.
Jangan sampai kota yang dianggap layak dan mendapat penghargaan tersebut tidak sesuai dengan realitas di lapangan. Apalagi kasus pelecehan maupun kekerasan seksual di Kukar tidak mampu diselesaikan dengan sebaik-baiknya.
Harapannya, pelecehan seksual ataupun pemerkosaan bukanlah sesuatu yang tabu yang kemudian dianggap aib sehingga enggan untuk diceritakan ataupun dilaporkan. Jika kasus-kasus seperti ini tidak dilaporkan dan dibiarkan, maka kejahatan seksual akan terus ada dan berkembang. (*Aktivis Perempuan di Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Kutai Kartanegara)