SINTESANEWS.ID – Arab Saudi digadang-gadang bergerak menuju negara yang lebih moderat sejak Pangeran Mohammed bin Salman (MbS) diangkat menjadi Putra Mahkota dan pemimpin de facto negara kerajaan tersebut pada 2017.
Sejak menggantikan sepupunya, Muhammad bin Nayef sebagai putra mahkota Saudi, MbS membuat sejumlah terobosan dengan menerapkan kebijakan yang membuat wajah Saudi terlihat lebih moderat.
Beberapa kebijakan itu antara lain membuka arena olahraga untuk perempuan, mengizinkan bioskop beroperasi, menggelar konser atau festival di ruang publik, mengizinkan pemakaian bikini di pantai tertentu, sampai membolehkan turis bukan muhrim menginap sekamar di hotel.
Selain itu, Saudi juga mengizinkan kaum laki-laki dan perempuan bercampur saat menonton konser dan turnamen olahraga. Pemerintahan Raja Salman juga mengizinkan perempuan mengemudi, masuk militer, dan mengizinkan perempuan bepergian sampai tinggal sendiri tanpa wali laki-laki.
Sejumlah pihak pun menganggap Saudi tengah bergerak menuju negara yang lebih terbuka dan tak lagi kaku meski masih menerapkan hukum Islam. Peralihan pandangan ini pun sejalan dengan Visi 2030 Saudi yang dikenalkan MbS tak lama setelah diangkat sebagai Putra Mahkota.
Visi 2030 merupakan kerangka strategi dan misi Saudi mengurangi ketergantungan negara pada minyak sebagai sumber utama pemasukan dengan mendiversifikasi ekonominya dan mengembangkan sektor layanan publik seperti kesehatan, pendidikan, infrastruktur, rekreasi, dan pariwisata.
Beberapa pengamat pun menilai penerapan kebijakan yang lebih terbuka oleh Saudi dinilai penting guna menarik minat para investor hingga turis asing.
Terlepas dari kebijakan-kebijakan yang lebih terbuka itu, di satu sisi Saudi masih banyak dikritik soal penegakan Hak Asasi Manusia (HAM).
Setahun setelah diangkat sebagai Putra Mahkota, MbS diyakini memerintahkan pembunuhan jurnalis Washington Post keturunan Saudi, Jamal Khashoggi, di Turki. Khashoggi, yang merupakan kritikus vokal MbS, tewas dibunuh di gedung konsulat Saudi di Istanbul pada 2 Oktober 2018.
Meski begitu, hingga kini MbS tidak pernah mengakui dirinya terkait pembunuhan Khashoggi meski mengakui itu dilakukan oleh oknum pemerintah Saudi yang tidak bertanggung jawab.
Selain itu, di era MbS, Saudi juga semakin getol menahan para ulama yang mengkritik kebijakan kerajaan. Salah satu yang paling dikenal ialah penangkapan imam Masjidil Haram, Sheikh Saleh Al-Thalib, pada 2018.
Pengadilan Saudi baru-baru ini menjatuhkan hukuman 10 tahun penjara terhadap Al-Thalib, karena ceramahnya yang dianggap bertentangan dengan aturan Kerajaan.
Al-Thalib menyampaikan ceramah yang mengkritik percampuran laki-laki dan perempuan di ruang publik pada 2018 lalu. Tak lama setelah itu, pihak berwenang Saudi menangkap Al Thalib. Mereka juga menonaktifkan akun Twitter miliknya.
Tak hanya Al-Thalib, sejumlah ulama dan para aktivis yang kritis juga ditangkap Kerajaan.
Jadi, apakah Saudi benar-benar bergerak menuju negara yang lebih terbuka dan moderat?
Ahli studi kajian Timur Tengah dari Universitas Indonesia, Yon Machmudi, mengatakan Saudi masih belum cukup moderat terlepas dari berbagai kebijakan sosial yang lebih terbuka.
“Dari aspek norma agama dan sosial Saudi menjadi lebih moderat, tetapi sisi politik masih otoritarian,” kata Yon, Kamis (25/8/2022).
Yon menerangkan, meski warga Saudi, terutama perempuan, kini lebih bebas, namun masyarakat masih dilarang mendiskusikan masalah politik di negara itu. Sebab, isu ini merupakan hak prerogatif raja dan keluarga.
“Otomatis, ulama maupun pihak yang berbeda pendapat dalam hal politik akan mendapat sanksi, termasuk dipenjarakan,” lanjut Yon.
Sepanjang MbS memimpin terdapat sejumlah ulama yang ditangkap. Mereka yakni Salman Al-Awdah, Awal Al-Qarani, Farhan Al-Maliki, Mostafa Hassan dan Safar Al-Hawali.
Yon menganggap reformasi yang sudah dibuat MbS tak cukup menjadikan Saudi menjadi negara moderat karena hanya berfokus ke sektor sosial, ekonomi, dan budaya, namun melupakan bidang lain seperti penegakan HAM seperti kebebasan berpendapat.
“Moderat dari sisi keagamaan saja, tetapi tidak demokratis,” kata Yon.
Dia kemudian menyoroti liberalisasi di Saudi hanya terjadi di bidang ekonomi dan sosial agama, sementara untuk politik tak ada sedikit pun keterbukaan.
Sebagaimana Visi 2030, Saudi menuntut Kerajaan melakukan modernisasi guna menumbuhkan ekonomi dari sektor non minyak.
Selain itu, sektor hiburan dan pariwisata juga menjadi alternatif baru bagi pendapatan negara.
Meski demikian, Yon mengatakan potensi moderat bisa saja terjadi di Saudi jika MbS menjadi raja dan perlahan membuka akses politik.
“Secara perlahan melakukan reformasi politik dengan membuka partisipasi publik dalam menentukan kebijakan negara,” ucap dia.
Senada, pengamat hubungan internasional dari Universitas Islam Negeri Jakarta, Ubaedillah mengatakan, Saudi harus diberi kesempatan untuk menjadi sebuah negara yang moderat.
“Untuk ke arah sana tentu tak mudah. Saudi harus didukung untuk menjadi negara moderat,” kata Ubaedillah.
Ia menyatakan Saudi memang banyak menangkap siapa saja yang menentang kebijakan MbS, namun sepanjang warga tak berbicara politik, Kerajaan tak akan melakukan penangkapan.
“Yang ditangkap Kerajaan Saudi bukan ulama Kerajaan, tetapi figur yang menyerukan anti moderasi dan bernada politis,” ucap Ubaedillah.
Sementara itu, pengamat hubungan internasional dari Universitas Muhammadiyah Riau, Fahmi Salsabila, mengkritik tindakan pemerintah Saudi saat ini.
Ia menilai usaha untuk tampak moderat tak sejalan dengan kondisi di dalam negeri.
“Upaya menuju moderat tak selaras dengan kebijakan dalam negeri yang justru masih represif terhadap kritikan rakyatnya,” ucap Fahmi.
Ia menegaskan bahwa Saudi hanya ingin dianggap terbuka terhadap dunia luar. Namun, dalam hal kebebasan berpendapat tak mendapat ruang barang cuma sejengkal.
“Jadi, (Saudi) ingin dianggap moderat dari tanggapan dunia luar terhadap hal-hal yang dulunya dilarang namun justru radikal ke dalam, membungkam kritik warga apa pun latar belakangnya,” tutur Fahmi.
Lebih lanjut, ia menyarankan agar Saudi bijak dalam mengelola kritik terhadap negara. Namun, bagaimanapun, hal ini bergantung pemimpinnya.
Fahmi juga tak menganggap demokrasi menjadi solusi untuk keterbukaan Saudi, dan jalan menuju moderat yang lebih baik.
“Belum tentu juga negara yg menganut demokrasi akan lebih demokratis, meskipun (secara) teori harusnya iya,” ucap dia lagi. (*)
Sumber: CNN Indonesia