SINTESANEWS.ID- Polemik terkait tanam tumbuh milik warga di Kelurahan Handil Baru, Kecamatan Samboja, kembali mencuat ke permukaan. Isu ini mendapat sorotan serius dalam forum Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi IV DPRD Kutai Kartanegara (Kukar), yang kali ini menyorot sikap PT Mitra Indah Lestari (MIL).
Perusahaan tersebut dinilai belum menunjukkan tanggung jawab sosial terhadap tanaman warga yang terdampak akibat aktivitas mereka.
Bagi warga, keberadaan tanam tumbuh bukan sekadar soal nilai ekonomi, melainkan simbol perjuangan dan penghidupan yang telah berlangsung sejak lama.
Anggota Komisi IV DPRD Kukar, Muhammad Idham, menegaskan bahwa perusahaan harus melihat persoalan ini dari perspektif yang lebih adil dan manusiawi.
“Tanaman itu hasil kerja keras masyarakat. Sekalipun status lahannya masih diperdebatkan, bukan berarti keberadaan tanam tumbuh bisa diabaikan,” kata Idham, Kamis (10/7/2025).
Menurutnya, perusahaan yang mengelola lahan dan mendapat manfaat dari wilayah tersebut seharusnya juga memikirkan dampak yang dirasakan warga, terutama terkait tanaman yang sudah lebih dulu ada.
“Kalau perusahaan bisa menikmati hasil dari lahan itu, mestinya ada juga kesadaran untuk mengganti apa yang telah dirawat warga,” lanjutnya.
Idham juga menyoroti pentingnya solidaritas warga dalam memperjuangkan hak. Ia mengingatkan bahwa perpecahan sikap di antara masyarakat hanya akan memperlemah posisi tawar dalam proses mediasi.
“Kalau warga tidak satu suara, akan sulit mencari solusi. Ini harus jadi perjuangan kolektif,” tegasnya.
Lebih dari sekadar ganti rugi, menurut Idham, yang dibutuhkan adalah pengakuan bahwa masyarakat memiliki andil dalam proses pembangunan wilayah tersebut.
Kompensasi bukan semata angka, tapi bentuk tanggung jawab sosial yang seharusnya melekat pada setiap entitas usaha.
“Kalaupun belum ada penggantian penuh, minimal perusahaan mengakui bahwa warga punya kontribusi. Jangan sampai masyarakat merasa tidak dianggap,” ujarnya.
Bagi Idham, perusahaan yang hadir di tengah masyarakat tak cukup hanya mengikuti regulasi teknis. Dibutuhkan pula kepekaan sosial dan keberpihakan terhadap nilai keadilan.
“Bisnis yang beretika itu bukan hanya soal keuntungan. Tapi bagaimana mereka hadir dan memberi dampak yang adil bagi lingkungan sekitar,” katanya.
Ia berharap PT MIL segera menunjukkan langkah konkret dalam menyelesaikan persoalan ini, dengan tetap mengedepankan prinsip keadilan dan penghormatan terhadap hak masyarakat.
“Jangan hanya ambil untung, tapi juga hadir sebagai bagian dari solusi. Itu baru namanya perusahaan yang beretika,” tutup Idham. (Adv/fi)
































