Home » Kolom » Rusak Masa Depan Korban, Oknum Pimpinan Ponpes Tenggarong Harus Dihukum Berat

Rusak Masa Depan Korban, Oknum Pimpinan Ponpes Tenggarong Harus Dihukum Berat

Selasa,1 Maret 2022 07:12WIB

Bagikan :

Oleh: Feirman Nour Rahman S.*

Baru-baru ini masyarakat Kutai Kartanegara (Kukar) digemparkan dengan kasus pencabulan santriwati di salah satu Pondok Pesantren (Ponpes) Tenggarong. Kasus ini dinilai tidak wajar, lantaran pelakunya berstatus sebagai pimpinan Ponpes, yang seharusnya menjadi sosok yang menginspirasi dan mendidik santri dengan baik. Sebaliknya, ia justru melakukan hal-hal yang tidak senonoh kepada anak didiknya.

Setelah melakukan aksi bejatnya, pelaku membawa korban ke Loa Janan untuk melakukan pernikahan siri. Pernikahan ini pun menyimpan kejanggalan, lantaran orang tua perempuan itu tidak mengetahui pernikahan anaknya sehingga tak ada wali perempuan dalam pernikahan tersebut. Karena itu, pernikahan ini dianggap tidak sah.

Perempuan itu pun hamil. Berbagai respons publik bermunculan di media sosial. Secara umum, mereka menyayangkan kasus ini. Sebab, kasus ini sangat mencederai kepercayaan masyarakat yang selama ini menyekolahkan anak mereka di Ponpes.

Namun, saya perlu menekankan bahwa kesalahan ini bukan terletak pada lembaga pendidikannya, tetapi oknum yang telah menyalahgunakan jabatannya untuk memenuhi nafsu birahinya.

Kasus ini telah menyalahi hak asasi manusia santriwati tersebut. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang yang termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalain yang secara melawan hukum, mengurangi, menghalangi, membatasi, dan mencabut hak asasi manusia, baik seseorang maupun kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

Hal lain yang patut dipersoalkan adalah pimpinan Ponpes tersebut menikahi perempuan yang umurnya belum genap 18 tahun. Artinya, dia masih berstatus anak-anak. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2022 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa negara dan pemerintah menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali, atau orang lain yang secara hukum bertanggung jawab terhadap anak. Negara dan pemerintah juga bertugas mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak.

A. V. Dicey, ahli hukum Anglo Saxon, memberi ciri-ciri rule of law, antara lain: pertama, supremasi hukum. Dalam arti tidak boleh ada kesewenang-wenangan, sehingga seseorang hanya boleh dihukum jika melanggar hukum. Kedua, kedudukan yang sama di depan hukum, baik bagi rakyat biasa maupun bagi pejabat. Ketiga, terjaminnya hak-hak manusia dalam undang-undang atau keputusan pengadilan (Winarno, 2009).

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menekankan bahwa usia perkawinan adalah 19 tahun. Namun, dalam kasus ini korban adalah anak di bawah umur. Ketika ingin melangsungkan pernikahan, maka ia harus mengikuti persyaratan yang berlaku.

Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menekankan, usia pernikahan yang baik adalah 21 tahun bagi wanita dan 25 tahun bagi pria. Karena di usia tersebut segi kesehatan reproduksi telah siap membuahi dan dibuahi; dari segi mental dan finansial telah dianggap matang, sehinggap siap membangun keluarga yang sejahtera.

Dalam hal ini BKKBN mencetuskan Program Generasi Berencana (GenRe), yang bertujuan mempersiapkan kehidupan berkeluarga bagi remaja, agar ke depan remaja Indonesia bisa menyongsong masa depan yang cerah.

Di lain sisi, Pasal 289 KUHP terkait pencabulan menyebutkan, “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun”.

Kasus ini telah merusak psikologi sang anak, terputusnya pendidikan, dari segi kesehatan juga sangat mengancam korban, terjadinya keguguran, kelahiran premature, pendarahan hingga kematian ibu muda. Belum lagi pergunjingan masyarakat  terhadap korban lantaran kasus yang menimpanya.

Saya sependapat dengan pengamat hukum dari Universitas Kutai Kartanegara (Unikarta) Tenggarong, Andi Surianka, yang mendesak aparat hukum agar menjatuhkan hukuman berat kepada pelaku sehingga memberikan efek jera.

Dalam hal ini, seorang anak memiliki hak sepenuhnya atas kesejahteraan selama hidupnya. Kita sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi hukum harus memiliki kepekaan terhadap lingkungan sekitar, sehingga kasus serupa tidak terulang di kemudian hari.

Dengan demikian, kita sebagai masyarakat yang tinggal di negara hukum tidak boleh mengabaikan “rasa keadilan masyarakat”. Karena itu, pelaku harus mendapatkan hukuman yang setimpal atas perbuatannya. (*Ketua GenRe Indonesia Kabupaten Kukar/Mahasiswa Fakultas Hukum Unikarta)

6085768219885996691-min

TOPIK TERKAIT

BERITA UTAMA

REKOMENDASI

cb69ca3e-61d6-4002-8894-a924a9d8e08a

TEKNOLOGI

TERPOPULER

HIBURAN

bannera

POLITIK