Home » Pendidikan » Green Economy: Solusi Atau Sekadar Ilusi?

Green Economy: Solusi Atau Sekadar Ilusi?

Sabtu,12 Oktober 2024 01:37WIB

Bagikan : Array

SINTESANEWS.ID – Dalam beberapa tahun terakhir, konsep green economy atau ekonomi hijau telah menjadi sorotan utama dalam diskusi global mengenai masa depan ekonomi dan lingkungan.

Didefinisikan sebagai sistem ekonomi yang bertujuan untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan sambil mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, konsep ini tampak menjanjikan.

Dengan semakin mendesaknya perubahan iklim, degradasi ekosistem, dan penurunan sumber daya alam, banyak negara, perusahaan, dan organisasi internasional mencari solusi yang mampu menyeimbangkan kebutuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan.

Namun, di balik optimisme ini, muncul pertanyaan mendasar: Apakah ekonomi hijau benar-benar merupakan solusi yang konkret, atau hanya sebuah ilusi yang membungkus eksploitasi ekonomi dengan label ramah lingkungan?

Pendukung konsep green economy meyakini bahwa model ini menawarkan jalan keluar dari berbagai krisis lingkungan dan sosial yang saat ini dihadapi oleh dunia. Salah satu contohnya adalah negara-negara seperti Denmark dan Swedia yang telah menerapkan kebijakan energi terbarukan secara signifikan. Denmark, misalnya, memiliki target ambisius untuk menjadi negara bebas karbon pada tahun 2050, dengan mengandalkan energi angin sebagai sumber energi utama.

Pembangunan ladang-ladang angin di Denmark telah membantu mengurangi emisi karbon secara drastis dan menciptakan ribuan lapangan kerja baru dalam sektor energi bersih.

Swedia juga telah menunjukkan keberhasilan melalui kebijakan pajak karbon yang diterapkan sejak 1991. Pajak karbon ini berhasil menurunkan emisi gas rumah kaca hingga 27% sejak diterapkan, tanpa merugikan pertumbuhan ekonomi negara tersebut.

Dalam dekade terakhir, Swedia telah beralih ke penggunaan energi terbarukan, terutama energi biomassa dan tenaga air, yang kini mencakup lebih dari 50% kebutuhan energi nasional mereka. Hal ini menunjukkan bahwa ekonomi hijau dapat berjalan seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Selain negara-negara tersebut, sejumlah perusahaan multinasional mulai beralih ke praktik bisnis yang lebih ramah lingkungan. Tesla, sebagai pelopor kendaraan listrik, telah menjadi simbol perubahan dalam industri otomotif.

Dengan pertumbuhan penjualan kendaraan listrik global yang mencapai 7,2 juta unit pada tahun 2021, banyak yang melihat industri ini sebagai masa depan transportasi rendah karbon.

Penggunaan energi terbarukan dan teknologi hijau di sektor industri telah menciptakan peluang ekonomi baru dan mendorong inovasi yang mendukung ekonomi hijau.

Namun, di balik kisah sukses ini, tantangan besar masih menghadang dalam penerapan ekonomi hijau secara global. Salah satu masalah utama adalah masih banyaknya perusahaan yang terlibat dalam greenwashing-sebuah strategi pemasaran di mana perusahaan mengklaim telah menerapkan praktik hijau padahal tidak ada perubahan signifikan dalam operasi mereka.

Ini sering kali hanya menyesatkan konsumen yang ingin mendukung produk ramah lingkungan. Contoh nyata dapat dilihat dalam industri minyak dan gas. Banyak perusahaan besar yang mengklaim melakukan investasi besar dalam energi terbarukan, namun pada saat yang sama, mereka terus memperluas proyek eksplorasi minyak dan gas di berbagai belahan dunia.

Shell, salah satu perusahaan minyak terbesar di dunia, berinvestasi dalam energi terbarukan, tetapi tetap menjadi pemain utama dalam industri bahan bakar fosil. Realitas ini menunjukkan bahwa sering kali, klaim tentang komitmen pada ekonomi hijau hanya sekadar kosmetik tanpa perubahan fundamental.

Selain itu, transisi menuju ekonomi hijau membutuhkan investasi yang sangat besar, terutama di negara-negara berkembang yang masih bergantung pada sumber daya alam untuk pertumbuhan ekonomi. Contoh kasus adalah Indonesia, yang merupakan salah satu produsen batu bara terbesar di dunia.

Meskipun pemerintah telah berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon, perekonomian negara ini masih sangat bergantung pada ekspor batu bara. Dalam situasi seperti ini, transisi ke energi terbarukan menghadapi tantangan besar, baik dari segi politik, ekonomi, maupun sosial.

Ketimpangan antara negara maju dan berkembang menjadi salah satu tantangan utama dalam mewujudkan ekonomi hijau yang inklusif. Negara-negara maju yang memiliki sumber daya lebih banyak, baik dalam hal teknologi maupun finansial, lebih mampu berinvestasi dalam inovasi hijau dan transisi energi terbarukan.

Sebaliknya, negara-negara berkembang seperti Afrika Selatan atau Brazil, yang ekonominya masih bergantung pada sektor energi tradisional seperti batu bara dan minyak, sering kali tidak memiliki akses yang memadai untuk melakukan transisi yang sama.

Misalnya, di Republik Demokratik Kongo, salah satu negara penghasil kobalt terbesar di dunia, mineral ini sangat penting untuk pembuatan baterai kendaraan listrik.

Namun, di balik permintaan global yang meningkat untuk kendaraan listrik, terdapat masalah besar terkait dengan kondisi kerja yang tidak manusiawi di tambang-tambang kobalt tersebut, serta kerusakan lingkungan yang diakibatkannya. Ini menimbulkan dilema etika: meskipun kendaraan listrik mengurangi emisi karbon, proses produksinya bisa menyebabkan dampak sosial dan lingkungan yang signifikan di negara berkembang.

Tanpa dukungan internasional yang signifikan dalam bentuk pendanaan hijau dan transfer teknologi, transisi menuju ekonomi hijau di negara-negara berkembang akan sangat sulit dan cenderung memperkuat ketidakadilan global.

Ekonomi Hijau: Solusi Jangka Panjang atau Ilusi Sementara?

Meskipun ekonomi hijau memiliki potensi besar untuk membawa perubahan, ada kekhawatiran bahwa fokus pada inovasi teknologi hijau saja mungkin tidak cukup. Salah satu kritik utama adalah bahwa ekonomi hijau sering kali hanya memindahkan dampak lingkungan dari satu sektor ke sektor lain, tanpa mengubah pola konsumsi yang tidak berkelanjutan. Konsumsi global yang terus meningkat masih didorong oleh model pertumbuhan ekonomi yang berfokus pada peningkatan produksi, yang pada akhirnya tetap membebani lingkungan.

Misalnya, meskipun panel surya dianggap sebagai solusi energi yang bersih, proses produksi panel surya memerlukan bahan-bahan seperti silikon dan logam langka lainnya yang ditambang di negara berkembang.

Tambang-tambang ini sering kali menyebabkan kerusakan lingkungan yang parah dan merusak ekosistem lokal. Sehingga, meskipun energi yang dihasilkan oleh panel surya mungkin bersih, dampak lingkungan dari rantai pasokan globalnya masih perlu dipertimbangkan.

Untuk menjadikan ekonomi hijau sebagai solusi jangka panjang, perubahan sistemik diperlukan. Pertama, kita perlu beralih dari sekadar mengganti teknologi lama dengan teknologi hijau menuju transformasi total dalam cara kita memproduksi dan mengonsumsi barang dan jasa. Ini termasuk memperhatikan masalah ketidakadilan sosial, ketimpangan, dan keadilan lingkungan yang harus menjadi bagian dari transisi hijau.

Kedua, pemerintah dan organisasi internasional harus memperkuat regulasi dan mekanisme pemantauan untuk mencegah greenwashing dan memastikan bahwa perusahaan-perusahaan benar-benar mematuhi standar lingkungan yang ketat. Sertifikasi dan audit independen harus diperkenalkan untuk menghindari klaim hijau yang palsu dan memastikan bahwa semua tindakan memiliki dampak nyata.

Terakhir, masyarakat perlu berperan aktif dalam mendorong transisi ini. Edukasi dan kampanye publik yang masif harus dilakukan untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya memilih produk ramah lingkungan dan mendukung kebijakan hijau. Partisipasi masyarakat dalam perumusan kebijakan juga sangat penting agar kebijakan ekonomi hijau tidak hanya ditentukan oleh elite politik dan ekonomi.

Kesimpulan
Green economy dapat menjadi solusi yang efektif untuk menghadapi krisis lingkungan dan ekonomi, tetapi hanya jika diimplementasikan dengan komitmen yang kuat dan inklusif. Tantangan seperti ketimpangan global, eksploitasi sumber daya, dan praktik greenwashing harus ditangani dengan serius untuk mencegah ekonomi hijau menjadi sekadar ilusi. Dengan upaya bersama yang melibatkan pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat, ekonomi hijau dapat menjadi alat yang nyata untuk menciptakan dunia yang lebih adil dan berkelanjutan. (*)

Penulis: Risno, PESERTA LK III HMI BADKO JAWA BARAT.

6085768219885996691-min

TOPIK TERKAIT

BERITA UTAMA

REKOMENDASI

cb69ca3e-61d6-4002-8894-a924a9d8e08a

TEKNOLOGI

TERPOPULER

HIBURAN

bannera

POLITIK