Jakarta, sintesanews.id – Pendiri Rumah Perubahan, Rhenald Kasali mengungkapkan, terdapat sejumlah kata beracun (toxic words) yang meracuni kaum muda di era modern.
Pertama, cuan. Kata ini berasal bahasa Hokian yang berarti profit atau hasil. Kata tersebut kerap muncul dari lisan kaum muda, bahkan disiarkan di berbagai televisi.
Menurut dia, apabila suatu bangsa selalu membicarakan tentang uang, maka secara tidak langsung bangsa tersebut akan mengabaikan sejumlah fondasi dalam menggapai keberhasilan.
Fondasi tersebut meliputi pendidikan, pengetahuan, ilmu, skill, pengalaman, gemblengan, jaringan, dan kehormatan. Hal-hal tersebut bila diabaikan, maka seseorang atau bangsa akan terpukau dengan kemudahan-kemudahan.
“Jangan lupa, kalau kita bicaranya cuan, cuan, cuan terus, kita bisa langsung menjadi orang yang sangat perhitungan,” jelas Rhenald sebagaimana dikutip sintesanews.id dari kanal YouTub Rhenald Kasali, Jumat (1/4/2022) sore.
Ia menjelaskan, orang-orang yang berhasil justru berasal dari mereka yang bijak (wise) terhadap uang. Sebaliknya, akar dari segala kejahatan adalah cinta berlebihan terhadap uang.
“Orang bijak selalu menaruh uang di kepalanya, tetapi tidak di hatinya,” ucap dia. “Uang adalah tuan yang buruk, namun pelayan yang excellent,” lanjutnya.
Kedua, quarter life crisis. Sebagian dari anak muda berusaha membandingkan dirinya dengan orang lain yang sudah lebih dulu berhasil dalam pendidikan, pernikahan, dan karier.
Akibatnya, banyak pemuda yang putus asa, stagnan, dan kepercayaan dirinya rendah. Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga menjamur di berbagai belahan dunia.
Ketiga, insecure. Ini merupakan perasaan cemas, kurang mampu, kurang percaya diri, dan merasa pencapaiannya tidak sesuai dengan harapan orang-orang di sekitarnya.
“Penyebab yang menimbulkan rasa insecure itu adalah karena kita mempunyai pengalaman yang berbeda-beda terhadap masa lalu,” jelasnya.
Dia tidak memungkiri bahwa terdapat orang-orang yang memiliki masa lalu yang buruk, sehingga pribadi tersebut menjadi orang yang rendah diri.
Ada kalanya ia menjadi pribadi yang suka pamer. “Dengan pamer itu dia merasa mudah diterima. Self esteem-nya lebih dapat. Insecurity ini terkait dengan uang, fisik, hubungan, pernikahan, dan lain sebagainya,” jelas Rhenald.
Ketiga, passion. Kata ini sering diungkapkan oleh para motivator. Bahkan, ada nasehat yang menekankan agar setiap orang mengerjakan apa saja yang disukainya.
“Tetapi tidak semuanya kita bisa mengerjakan apa yang kita sukai. Oleh karena itu, dia harus mencintai apa yang dia kerjakan, dan cinta itu akan menimbulkan prestasi,” terangnya.
Ia menegaskan, passion muncul bukan semata-mata karena seseorang suka mengerjakan sesuatu, tetapi juga karena setiap orang melewati fase-fase yang sulit dengan ketenangan.
Bekerja sesuai passion, lanjut dia, adalah mau melewati serangkaian kesulitan-kesulitan. Bisa jadi seseorang menyuakai kopi dan usaha. Namun, saat ia membangun usaha kedai kopi, akan muncul pula orang lain yang lebih berhasil darinya.
“Terus karena Anda tidak berhasil, Anda tiba-tiba lemas dan Anda kemudian beralih, pindah lagi usaha ke bidang yang lain,” jelasnya.
Orang-orang seperti ini memandang passion semata-mata karena mereka menyukainya. Bila dipersulit dan dibentak sedikit saja, maka pribadi-pribadi tersebut akan “meninggalkan gelanggang perjuangan”.
“Kalau Anda menganggap passion itu kemudahan, saya kira Anda keliru. Semua orang tentu saja harus memelihara passion..tetapi jika passion menggerakkanmu, biarkan akal yang mengendalikanmu,” ucapnya.
Dia menegaskan, passion saja tidaklah cukup untuk menggerakkan dan membawa seseorang pada keberhasilan dalam bidang yang digelutinya. Tetapi juga harus didukung dengan rencana-rencana masa depan.
Setiap orang memang dituntut meningkatkan kariernya. Namun juga harus disertai dengan rasa, makna, dan kekuatan dalam menghadapi masa-masa sulit. (um)