SINTESANEWS.ID – Anggota Komisi Hukum DPR Fraksi Partai Demokrat Santoso menanggapi usulan anggota DPD untuk mengkaji pemakzulan Presiden Joko Widodo alias Jokowi imbas penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perpu Cipta Kerja. Menurut dia, terbitnya beleid itu tidak akan menjurus pada pemakzulan.
Musababnya, kata Santoso, alih-alih dilakukan karena dugaan pelanggaran konstitusi, pemakzulan lebih bersifat politis. Ditambah lagi, Presiden Jokowi membuat koalisi yang gemuk sehingga pemakzulan tidak akan terwujud hingga masa jabatannya usai pada 2024.
“Pemakzulan yang dialami oleh Presiden Gus Dur menjadi pelajaran bagi pemerintahan Jokowi agar jangan sampai terulang kembali,” kata Santoso, Senin (2/1/2023).
Kendati demikian, Santoso menyebut Perpu Ciptaker ini bakal menuai banyak penentangan di DPR, termasuk dari partai politik koalisi. Dia menyebut penentangan ini ibarat hymne wajib bagi parpol demi mendapatkan dukungan rakyat jelang Pemilu 2024.
“Untuk tidak ditinggal rakyat, parpol koalisi pun untuk urusan Perpu Ciptaker akan berseberangan dengan Pemerintahan Jokowi, karena ingin suara rakyat di 14 Februari 2024,” ujarnya.
Sebelumnya, anggota DPD RI asal Sulawesi Tengah Abdul Rachman Thaha menyarankan DPR segera mengakhiri masa resesnya untuk meninjau kemungkinan pemakzulan terhadap Presiden Jokowi. Sebab, kata dia, Presiden berkukuh menerbitkan Perppu Cipta Kerja dengan mengabaikan keputusan Mahkamah Konstitusi dan pelibatan rakyat.
“Menghadapi politik ugal-ugalan pemerintah semacam itu, seluruh anggota DPR seharusnya selekasnya mengakhiri masa reses lalu kembali ke Gatot Subroto untuk meninjau kemungkinan pemakzulan terhadap Presiden,” kata Abdul.
Adapun aturan ihwal pemakzulan Presiden tertuang dalam UUD 1945 pasal 7A-7C. Aturan ini menyebutkan Presiden dan Wakil Presiden dapat diberhentikan oleh MPR atas usul DPR apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Kendati demikian, Abdul ragu jika DPR berani memakzulkan Presiden. Pasalnya, kata dia, koalisi pemerintah di DPR sangat besar.
“Kalau persoalan alasan pemakzulan, bisa saja. Ada pelanggaran terhadap roda pemerintahan. Dalam hal menjalankan fungsi dan kewenangannya, jika tidak sesuai bisa saja (DPR memakzulkan). Tapi apakah berani? Koalisi saat ini sangat besar,” kata Abdul.
Menurut dia, MK sudah menyatakan bahwa UU Cipta Kerja cacat secara formil. Adapun lewat Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, Mahkamah menyatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dan meminta pemerintah memperbaikinya paling lama 2 tahun.
Alih-alih memperbaiki, Abdul menyebut pemerintah malah menerbitkan Perppu. “Lahirnya Perppu dianggap putusan MK itu gugur demi hukum. Padahal tidak, Presiden harusnya melaksanakan itu, bukan hanya Perppu,” ujarnya.
Abdul mengatakan penerbitan Perpu Cipta Kerja menunjukkan bahwa tanda-tanda otoritarianisme dalam kemasan peraturan perundang-undangan makin nyata. Penerbitan aturan ini juga dinilai Abdul ugal-ugalan serta membahayakan kehidupan berundang-undang di Indonesia.
Ia menyebut penerbitan Perpu Cipta Kerja ibarat bunyi gong yang menandai masuknya Indonesia ke situasi krisis legislasi sekaligus krisis demokrasi.
“Tidak hanya ini menunjukkan betapa di periode kedua kekuasaannya rezim Jokowi tidak efektif, tapi bahkan membahayakan kehidupan berundang-undang negara kita,” kata dia. (*)
Sumber: Tempo.co