Home » Seputar IKN » Pengamat dari Unikarta Ini Ungkap Sisi Positif dan Negatif Pemindahan IKN

Pengamat dari Unikarta Ini Ungkap Sisi Positif dan Negatif Pemindahan IKN

Rabu,16 Maret 2022 09:59WIB

Bagikan :

Kukar, sintesanews.id – Pengamat politik dan kebijakan publik dari Universitas Kutai Kartanegara (Unikarta) Tenggarong, Sudirman, mengungkapkan pendapatnya perihal pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke sebagian wilayah Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim). Menurutnya, pemindahan ibu kota ke Bumi Mulawarman laksana koin yang memiliki dua sisi: positif dan negatif.

Dampak positif pemindahan IKN ke Kaltim adalah pembangunan infrastruktur yang akan semakin masif, sehingga distribusi barang akan kian lancar. Hal ini akan berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi.

Sudirman mencontohkan Kabupaten Mahakam Ulu yang dapat berkembang karena dimekarkan dari Kabupaten Kutai Barat menjadi kabupaten sendiri. “Kalau tidak jadi kabupaten, mungkin tidak ada infrastruktur di sana. Sekolah dan pelayanan dasar tidak menjadi lebih baik,” ucapnya, Selasa (15/3/2022).

Sisi negatif pemindahan ibu kota, sebut Sudirman, adalah persoalan marginalisasi. Ia mencontohkan suku asli di beberapa tempat yang tersingkir ketika ibu kota dipindahkan, seperti masyarakat Betawi di Jakarta dan kaum Aborigin di Australia. “Mereka itu pergi ke mana?” tanyanya.

Marginanalisasi telah terlihat tanda-tandanya sejak dini dalam pemindahan IKN. Pasalnya, dalam proyek multiyears itu, anggaran yang bersumber dari APBN hanya 20%. Sisanya bersumber dari mekanisme kerja sama dengan swasta.

Lantas, jika dananya berasal dari pihak swasta, maka target utamanya adalah meraup keuntungan dari proyek IKN. “Kalau swasta, hukumnya sederhana, tidak ada makan siang yang gratis,” ujarnya.

Mimpi-Mimpi di Balik Wacana IKN

Sudirman menerangkan, apabila diamati diskursus yang dibangun berkaitan dengan IKN Nusantara, yang digambarkan adalah sebuah tempat layaknya dunia fantansi yang begitu ideal, kota hijau, dan infrastruktur yang sangat baik.

Namun, dia memberikan catatan bahwa diskursus demikian sudah pernah dilalui di masa lalu. Keberadaan perusahaan-perusahaan besar ke Kaltim adalah contoh nyata. Ketika salah seorang insinyur dari Belanda menemukan sumber minyak di Tanah Kalimantan, mereka pun mengusulkan tempat itu dikonservasi agar tidak diganggu.

Tetapi, jika ditelaah seacara kritis, hal itu hanyalah tameng dari pihak Belanda agar masyarakat Dayak dan Kutai tidak mengusik sumber minyak tersebut, sehingga mereka menggunakan wacana penghijauan dan konservasi.

Wacana itu juga dibangun dalam membangun IKN saat ini. IKN juga dibangun dengan iming-iming akan menciptakan lapangan kerja yang lebih banyak. Ia menyebutkan bahwa diskursus semacam itu pun telah terjadi. Bukan hanya saat ini. Perusahaan nasional di Kaltim sejak dulu menjanjikan lapangan kerja. Lantas, saat ini dapat disaksikan siapa yang bekerja di perusahaan-perusahaan tersebut.

Sudriman menuturkan, tenaga kerja dari pedalaman sejatinya bukan tidak ingin bekerja di perusahaan. Syarat bagi seseorang agar bisa bekerja di perusahaan harus memiliki sertifikat. Umumnya masyarakat lokal tidak memiliki sertifikat. Sehingga mereka kalah bersaing dengan orang-orang dari luar Kalimantan.

“Kapitalisme itu akan mencari di mana tenaga kerja yang sangat murah,” ungkapnya.

Diskursus Investasi

Sudirman mengaitkan pembangunan IKN yang tidak terlepas dari agenda neoliberalisme. Sejak dulu, desain negara Indonesia selalu dikondisikan oleh segelintir manusia yang ingin menguasai ekonomi.

Penjajahan yang pernah dialami rakyat Indonesia dilakukan melalui cara kekerasan dan paksaan. Namun, di era sekarang cara tersebut tidak lagi relevan. Lantas, cara yang tepat adalah melalui penjajahan intelektual.

Ia kemudian menyoal Undang-Undang Cipta Kerja, yang menurutnya erat kaitannya dengan peringkat Easy Of Doing Business (EODB) suatu negara. Indonesia diposisikan sebagai salah satu negara yang tidak ramah investasi. “Akhirnya kan orang ribut-ribut soal itu bahwa Indonesia berada di peringkat 40,” katanya.

Namun, kata dia, orang-orang tidak pernah mempertanyakan dan mendiskusikan indikator yang digunakan dalam penetapan peringkat tersebut.

Ia menegaskan, masyarakat perlu memahami cara kerja sistem kapitalisme-neoliberal. Sejak dulu, Kaltim telah dijajah melalui dalih investasi. “Yang menguasai lahan di Kalimantan ini siapa? Yang katanya untuk petani, kenyataannya cuma berapa persen,” tuturnya.

Secercah Harapan

Sudirman berharap agar pemindahan IKN tidak menjadi bencana buruk bagi masyarakat lokal. Para pemilik modal yang akan berinvestasi di Kaltim diminta agar tidak menerapkan model penjajahan baru. “Jangan sampai (melakukan) who wins, they take it all,” ucapnya.

Kemudian, dia juga berharap kepada para pengambil kebijakan supaya memiliki paradigma berfikir yang sama, yaitu berorientasi pada pendidikan. “Tidak ada ruginya kok jika kita bangun kampus bagus-bagus,” tutupnya. (*)

Penulis: Mursid Mubarak

6085768219885996691-min

TOPIK TERKAIT

BERITA UTAMA

REKOMENDASI

cb69ca3e-61d6-4002-8894-a924a9d8e08a

TEKNOLOGI

TERPOPULER

HIBURAN

bannera

POLITIK